Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Lodewijk P memeriksa pasukan saat berlangsungnya upacara peringatan HUT ke 58 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang berlangsung di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta, Jum'at (16/4). Upacara yang berlangsung sederhana tersebut dihadiri para petinggi di lingkungan Kopassus (Foto: ANTARA/Prabu Pandya/Koz/nz/10)
17 April 2010, Jakarta -- Institusi Tentara Nasional Indonesia belakangan mengalami banyak kemajuan, terutama terkait penghargaan dan pemahaman terhadap isu-isu hak asasi manusia. Hal itu tampak dari berbagai pendidikan HAM dan Konvensi Geneva yang sejak masa reformasi sudah mulai diajarkan dalam materi pendidikan di kemiliteran.
Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I (Bidang Pertahanan dan Keamanan) DPR Tubagus Hasanuddin di Jakarta, Jumat (16/4). Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan hal tersebut seusai berbicara dalam diskusi tentang intelijen di Lembaga Pemantau HAM Imparsial, Jakarta.
Akan tetapi, soal apakah TNI lebih maju dalam menerapkan prinsip HAM, Hasanuddin meminta TNI tak perlu menilai dirinya sendiri dan menyerahkan hal itu kepada masyarakat sebagai penilainya.
”Dalam pendidikan di militer sekarang memang wajib belajar soal HAM dan Konvensi Geneva. Jujur, yang dahulu tidak ada soal itu. Selain itu, juga ditegaskan, tentara hanya untuk menghadapi agresor asing dalam perang,” ujar Hasanuddin.
Soal beban masa lalu yang masih terus menempel dan mengikuti institusi militer, terutama terkait pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lalu, Hasanuddin menyatakan, justru di situ TNI ditantang untuk menunjukkan diri telah berubah dan lebih profesional.
”Saya juga berharap masyarakat bisa bersikap lebih obyektif menilai TNI, yang sekarang sudah berubah dan jauh lebih baik. Setidaknya militer sekarang punya komitmen untuk netral dan tingkat disiplin mereka juga jauh lebih baik,” ujar Hasanuddin.
Pelatihan HAM
Secara terpisah, Jumat, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus) Mayor Jenderal Lodewijk F Paulus menuturkan, aspek HAM dan humaniter menjadi bagian yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan Kopassus. Setiap prajurit Kopassus paham HAM dan harus bisa menghormati HAM.
”Namun, orang selalu melihat masa sekarang dengan menggunakan kacamata lama. Itu tidak adil,” kata Lodewijk seusai upacara hari ulang tahun ke-58 Kopassus di Jakarta.
Menurut Lodewijk, berkaitan dengan aspek doktrin dalam Kopassus, aspek hukum HAM dan humaniter selalu menjadi masalah. Apalagi berbagai pihak selalu memandang Kopassus dengan perspektif masa lalu. Kini, materi HAM masuk dalam semua pelajaran dan kurikulum Kopassus.
Untuk itu, Kopassus bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menggeluti HAM untuk mengadakan pelatihan. ”Saya jamin, tidak ada satu prajurit Kopassus pun yang tidak memahami HAM. Pada gilirannya, dia harus hormati HAM,” ujarnya.
Menurut Lodewijk, Kopassus terus-menerus melakukan evaluasi internal. Dalam setahun terakhir ini ada tiga hal yang menjadi bahan evaluasi, yaitu perang teror, sandi yudha (intelijen), dan parakomando. Ketiga unsur ini mendapat perhatian khusus dan ke depan ditingkatkan sebagai upaya untuk menghadapi tantangan.
Untuk pengembangan setahun ke depan, Kopassus mengharapkan ada pembinaan personal dan peningkatan alat. Namun, menurut Lodewijk, Kopassus belum menerima dana tambahan untuk pembelian material khusus, sebagaimana yang disampaikan kepada Kementerian Pertahanan, beberapa waktu lalu. Dengan mengacu pada kebutuhan esensial minimum, salah satu pertimbangan sistem persenjataan adalah jangan sampai dalam latihan dengan negara lain, alat yang dimiliki Kopassus jauh tertinggal.
”Latihan dengan Malaysia, alat sudah cukup sama. Kalau soal mental dan skill, silakan wartawan yang menjawab,” katanya.
Berkaitan dengan normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat, Lodewijk menyatakan, bola kini di pihak AS. ”Saya sudah ke sana. Sekarang, menurut pantauan saya, semua berjalan lancar,” katanya.
Kompas
17 April 2010, Jakarta -- Institusi Tentara Nasional Indonesia belakangan mengalami banyak kemajuan, terutama terkait penghargaan dan pemahaman terhadap isu-isu hak asasi manusia. Hal itu tampak dari berbagai pendidikan HAM dan Konvensi Geneva yang sejak masa reformasi sudah mulai diajarkan dalam materi pendidikan di kemiliteran.
Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I (Bidang Pertahanan dan Keamanan) DPR Tubagus Hasanuddin di Jakarta, Jumat (16/4). Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan hal tersebut seusai berbicara dalam diskusi tentang intelijen di Lembaga Pemantau HAM Imparsial, Jakarta.
Akan tetapi, soal apakah TNI lebih maju dalam menerapkan prinsip HAM, Hasanuddin meminta TNI tak perlu menilai dirinya sendiri dan menyerahkan hal itu kepada masyarakat sebagai penilainya.
”Dalam pendidikan di militer sekarang memang wajib belajar soal HAM dan Konvensi Geneva. Jujur, yang dahulu tidak ada soal itu. Selain itu, juga ditegaskan, tentara hanya untuk menghadapi agresor asing dalam perang,” ujar Hasanuddin.
Soal beban masa lalu yang masih terus menempel dan mengikuti institusi militer, terutama terkait pelanggaran HAM yang dilakukan pada masa lalu, Hasanuddin menyatakan, justru di situ TNI ditantang untuk menunjukkan diri telah berubah dan lebih profesional.
”Saya juga berharap masyarakat bisa bersikap lebih obyektif menilai TNI, yang sekarang sudah berubah dan jauh lebih baik. Setidaknya militer sekarang punya komitmen untuk netral dan tingkat disiplin mereka juga jauh lebih baik,” ujar Hasanuddin.
Pelatihan HAM
Secara terpisah, Jumat, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus) Mayor Jenderal Lodewijk F Paulus menuturkan, aspek HAM dan humaniter menjadi bagian yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan Kopassus. Setiap prajurit Kopassus paham HAM dan harus bisa menghormati HAM.
”Namun, orang selalu melihat masa sekarang dengan menggunakan kacamata lama. Itu tidak adil,” kata Lodewijk seusai upacara hari ulang tahun ke-58 Kopassus di Jakarta.
Menurut Lodewijk, berkaitan dengan aspek doktrin dalam Kopassus, aspek hukum HAM dan humaniter selalu menjadi masalah. Apalagi berbagai pihak selalu memandang Kopassus dengan perspektif masa lalu. Kini, materi HAM masuk dalam semua pelajaran dan kurikulum Kopassus.
Untuk itu, Kopassus bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menggeluti HAM untuk mengadakan pelatihan. ”Saya jamin, tidak ada satu prajurit Kopassus pun yang tidak memahami HAM. Pada gilirannya, dia harus hormati HAM,” ujarnya.
Menurut Lodewijk, Kopassus terus-menerus melakukan evaluasi internal. Dalam setahun terakhir ini ada tiga hal yang menjadi bahan evaluasi, yaitu perang teror, sandi yudha (intelijen), dan parakomando. Ketiga unsur ini mendapat perhatian khusus dan ke depan ditingkatkan sebagai upaya untuk menghadapi tantangan.
Untuk pengembangan setahun ke depan, Kopassus mengharapkan ada pembinaan personal dan peningkatan alat. Namun, menurut Lodewijk, Kopassus belum menerima dana tambahan untuk pembelian material khusus, sebagaimana yang disampaikan kepada Kementerian Pertahanan, beberapa waktu lalu. Dengan mengacu pada kebutuhan esensial minimum, salah satu pertimbangan sistem persenjataan adalah jangan sampai dalam latihan dengan negara lain, alat yang dimiliki Kopassus jauh tertinggal.
”Latihan dengan Malaysia, alat sudah cukup sama. Kalau soal mental dan skill, silakan wartawan yang menjawab,” katanya.
Berkaitan dengan normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat, Lodewijk menyatakan, bola kini di pihak AS. ”Saya sudah ke sana. Sekarang, menurut pantauan saya, semua berjalan lancar,” katanya.
Kompas
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar pajak ditanggung pemilik blog ^-^